IBU

Karya : Abdul Aziz (FMN Cabang Purweokerto)

“Cukup pak, cukup!”
“Ada apa nak?”
“Aku bosan pak, aku ngantuk dengan cerita bapak?”
“Ini cerita yang bagus nak, cerita dimana kamu dapat mengambil hikmah didalamnya.”
“Tapi pak, aku tidak pernah selesai mendengarnya. Aku selalu tertidur sebelum cerita berakhir.”
“lalu, kau ingin bapak bercerita apa nak?”
“Bercerita tentang Ibu.”
“Kenapa dengan Ibu?”
“Pak, kenapa ibu harus berdiri berlama-lama, berbaris panjang-panjang untuk membeli minyak di warung Pak Udin.”
“Karena Ibu menggunakan minyak untuk memasak?”
“Tapi, kenapa ibu dan orang-orang harus berdiri dan berbaris. Kenapa
ibu tidak membeli minyak di warung lain saja?”
“Mungkin minyak di warung lain habis nak?”
“kenapa bisa habis pak?”


“bapak kurang tahu nak Bukankah bapak setiap pagi sampai menjelang sore harus berangkat ke pabrik untuk bekerja”
“Pak, beberapa hari ini sebelum pak Udin membagikan minyaknya ke ibu dan orang-orang, selalu aku lihat truk besar datang. Truk itu mengisi semua tong milik pak Udin.”
“Berarti truk itu hebat sekali nak, bisa mengisi penuh seluruh tong milik Pak Udin.”
“Tapi aku takut saat truk itu datang.”
“Kenapa nak? Bukankah kau selalu senang saat berjalan-jalan di kota dan melihat truk.”
“aku takut saat truk itu datang pak. Orang-orang selalu berkerumun, berhimpit-himpitan mendekati pak Udin. Aku takut pak, takut!”
“Kalu kamu takut, maka berdiamlah di rumah saja saat truk itu datang.”
“aku gak mau pak.”
“kenapa?”
“Aku pernah melihat ibu dihimpit orang-orang itu, aku takut ibu terjatuh. Aku takut ibu luka.” Bapak terdiam. Membelai rambut sang anak.
“Pak, apakah truk itu tidak mengisi warung-warung yang lain. Sehingga orang-orang di desa lain juga beramai-ramai beli minyak di Pak Udin?
“Bapak kurang tahu nak.”
“kenapa?”
“Karena bapak bekerja. Bukankah kamu tahu sejak pagi sampai menjelang sore bapak harus di Pabrik.Mungkin besok atau lusa truk besar itu akan mengisi di warung lain?”
“Tapi, beberapa hari ini orang-orang selalu berbaris, berdiri berlamalama membeli minyak di Pak Udin. Dan truk itu selalu datang di saat siang.”
“Berarti, minyak di truk itu telah habis mengisi semua tong milik pak udin. Kan tong milik pak udin banyak sekali”
“Kenapa semua tong diisi ke pak Udin pak?”
“Karena pak udin membeli semua minyak di truk itu nak.”
“Apakah warung yang lain tidak bisa membelinya pak?”
“mungkin nak, karena minyak setruk besar itu, tentu mahal harganya.”
“Pak, kenapa ibu hanya membeli minyak di jurigen yang kecil? Kenapa tidak membeli minyak seperti ibu somat, atau ibu Rudi? Mereka selalu membeli minyak dengan jurigen besar. Sehingga mereka tidak perlu berdiri lagi, berbaris lagi untuk beli minyak setiap hari.”
“Bapak tidak punya cukup uang untuk membeli minyak di jurigen besar?”
“Bapak kan bekerja, bukankah berarti bapak punya uang.”
“Tapi uang bapak tidak cukup untuk membeli minyak jurigen besar. Bukankah ibu juga harus membeli lauk, dan nasi selain minyak.”
“Kenapa uang bapak tidak cukup. Bukankah ayah somat, dan bapak rudi juga bekerja di pabrik seperti bapak?”
“ya, kamu benar nak. Tapi, bapak hanya buruh. Hanya pekerja kasar di pabrik, mengangkat tembakau untuk ditimbangkan. Sedangkan bapak rudi dan bapak somat bekerja di dalam kantor pabrik.”
“apa yang mereka kerjakan di dalam kantor pabrik pak?”
“Menulis dan menghitung jumlah tembakau yang datang?”
“Kenapa uang bapak rudi dan somat lebih cukup untuk membeli minyak di jurigen besar pak. Padahal mengangkat tembakau lebih berat daripada menghitung dan menulis.”
“Ya, memang berat nak.”
“Pak, kenapa bapak tidak pindah saja dalam kantor pabrik.”
“karena bapak tidak pandai menghitung dan menulis.’
“Apakah bapak dulu tidak sekolah?”
“Tidak nak. Bapak tidak sekolah. Makanya bapak ingin terus menyekolahkan kamu. Karena bapak ingin, saat kau dewasa nanti kau dapat pandai untuk menghitung dan menulis, tidak seperti bapak.
“Pak, Kalu begitu aku harus pandai menghitung dan menulis, agar ibu tidak lagi membeli minyak di jurigen kecil, aku ingin ibu membeli minyak di jurigen besar, aku ingin ibu tidak harus antri si setiap hari di saat siang,”
“ya nak. Kau tidurlah, bukankah kamu besok harus sekolah.”
“Aku belum bisa tidur pak?’
“Tutup saja matamu dan berdoa, nanti kamu kan tetidur.”
“Aku takut pak?”
“Takut apa?”
“Aku takut saat ibu selalu berdiri di siang hari.. orang-orang menghimpit Ibu. Aku takut ibu sakit” Bapak terdiam
“Pak, bisakah besok bapak bicara pada sopir truk itu, untuk tidak hanya mengisi tong-tong milik pak Udin. Aku takut melihat orang yang berkerumun pak. Aku takut saat melihat ibu terhimpit di kerumunan itu.”
“Besok, bapak harus bekerja nak. Kalau bapak tidak bekerja nanti kamu, ibu, dan bapak tidak bisa makan. Dan bapak juga tidak bias membayar sekolahmu. Bukankah kamu ingin pintar menulis dan menghitung.”
“Tapi bapak akan tetap berkata ke pak sopir itu kan bila bapak bertemu.”
“Ya nak. Bapak akan berbicara pada sopir truk itu. Sekarang tidurlah.”

***

“Pak, tadi siang aku melihat Ibu Rudi dan Ibu Somat hanya membeli minyak di jurigen kecil. Apa uang bapak rudi dan ibu somat sudah tidak cukup lagi untuk membeli minyak di jurigen besar.”
“Mungkin nak.”
“Tapi, kenapa pak? Bukankah bapak rudi dan bapak somat masih kerja di kantor pabrik. Bukankah mereka masih pandai berhitung dan membaca.”
“Ya nak. Kamu benar. Tapi dua hari yang lalu harga minyak telah naik dua kali lipat.”
“kok, bapak tahu. Bukankah bapak setiap pagi sampai menjelang sore selalu bekerja di pabrik?”
“Ibumu yang bercerita nak. Ibumu yang berkata pada bapak.”
“Kenapa ibu bercerita?”
“Sudahlah, malam sudah terlalu larut untukmu. Bukankah kamu harus sekolah besok pagi. Bukankah kamu ingin pintar menulis dan berhitung.”
“Tapi pak. Kenapa walau bapak rudi pintar menulis dan berhitung uangnya tak cukup lagi untuk membeli minyak di jurigen besar?
Dan mengapa pak Udin yang tidak bekerja di pabrik bisa membeli minyak bertong-tong banyaknya? Kenapa pak?”
“Karena ada yang lebih tinggi dari sekedar pintar menulis dan berhitung?”
“apa itu pak?”
“Nanti nak, saat kau dewasa, kau pasti akan tahu tanpa bapakmu ini bercerita padamu.”
“Hari ini aku bahagia pak. Aku bahagia, ibu tidak lagi berdiri, berbaris bersama orang-orang itu.”
“iya nak. Bapak juga bahagia. Kalau begitu sekarang kamu tidur.”
“Pak, bisakah saat aku terbangun di esok pagi, aku menjadi dewasa?”


Komentar

Anonim mengatakan…
dalem banget isi tulisannya.
hidup mahasiswa indonesia.

Postingan populer dari blog ini

KECIL HASIL BASIS PENTING

FMN BERLAWAN

ANAK CACINGAN